Belakangan ini ada perasaan yang sangat menggelitik soal atensi, media sosial, dan juga kepenulisan.
Saya merasa saya menghabiskan waktu terlampau banyak untuk melihat konten di media sosial seperti Instagram dan Twitter. Konten-konten yang ada memang menarik untuk dikonsumsi, dengan durasi yang sangat pendek dan berbagai elemen kejutan yang mendampingi. Namun, kadang-kadang rasanya hampa sekali. Mungkin itulah mengapa ada istilah doomscrolling. Doom.
Semua konten itu hanya saya lihat sambil lalu, sembari kadang-kadang menekan ikon berbentuk hati, jika sedang mau.
Mengonsumsi konten bukanlah suatu hal yang baru. Bahkan dari dua dekade lalu pun, ketika saya baru punya akses terhadap internet yang cukup mumpuni, mengonsumsi konten sudah menjadi asupan sehari-hari. Yang membedakan hanyalah bentuk konten yang saya konsumsi di kala itu. Ada sebuah era di mana konten yang saya konsumsi merupakan bacaan-bacaan panjang yang ditulis dari dalam hati, disertai beberapa foto dengan estetik khas era itu. Dari konten-konten tersebut muncul interaksi dan pertemanan yang hangat, kendati sebagian besar hanya terjadi di dunia maya. Kita dulu menyebutnya blogwalking. Hampir sama seperti Substack, di masing-masing blog biasanya ada daftar blog kawan-kawan penulisnya yang direkomendasikan oleh sang penulis untuk dikunjungi juga. Dari satu blog, ke blog lain, lalu ke blog lainnya.
Dulu memang sudah ada metrik bernama blog counter, tetapi rasanya statistik tidak “sepenting” sekarang. Lebih daripada itu, konten yang kita konsumsi tidak didikte oleh algoritma. Kebiasaan saya dulu adalah mengunjungi blog-blog favorit saya berulang-ulang, dan membaca tulisan-tulisannya berulang-ulang, jika pun sedang tidak ada tulisan baru. Kalau sedang bosan, mungkin saya baru menggunakan plugin StumbleUpon, yang membantu memunculkan halaman-halaman aneh nan populer di dunia maya. Kini, apa yang saya lihat setiap harinya benar-benar didikte oleh algoritma. Ya, memang saya follow mereka yang saya lihat saat membuka Instagram — tapi 90% orang yang saya juga follow jarang muncul di halaman pertama hanya karena mereka tidak mempublikasikan konten dalam bentuk reels atau mungkin tidak memiliki like yang banyak. Ini membuat semuanya kadang-kadang terasa semakin membosankan. Membosankan, tetapi saya kerjakan terus juga. (Bagaimana, sih?)
Berkaitan dengan hal tersebut, saya merasa belakangan ini saya menulis dengan jumlah dan frekuensi yang jauh lebih sedikit. Ya, saya memang menulis setiap hari sebagai bagian dari pekerjaan saya. Namun, tulisan-tulisan tersebut kerap bersifat ilmiah. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir saya menulis murni untuk menyampaikan apa yang saya rasakan dan membuat isi pikiran menjadi lebih runut, terutama jika caption Instagram dan twit kita kecualikan. Sudah lama sekali saya tidak menulis hanya untuk menulis saja, dan rasanya kemampuan ini setiap harinya semakin tumpul.
Saya pernah berpikir dan bertanya-tanya kepada diri saya sendiri: apakah ini saatnya saya menjadi kreator konten di Instagram dan TikTok secara serius? Haruskah saya membuat video-video agar bisa tetap relevan dan berdampak kepada orang lain? Mungkin dengan begitu saya bisa membuat konten “edukatif” yang muncul di halaman utama Instagram orang lain. Pertanyaan itu hampir tidak pernah terjawab — karena rupanya saya bukan tipe orang yang nyaman untuk berbicara di depan kamera jika tidak sedang terpaksa.
Kultivasi pikiran dan perasaan ini lambat laun bermuara pada satu kesimpulan, yang dibuat semakin kuat tatkala kawan saya Rara mengingatkan audiensnya, termasuk saya, bahwa ia memiliki platform tulisan bernama Jurnal Akar Wangi. Mengutip perkataan Rara hari itu, kadang-kadang Substack rasanya seperti Tumblr 2.0.
Mungkin ini saatnya saya kembali menulis, bukan untuk dijadikan buku, “mengajari” orang lain, maupun untuk menyembah algoritma — melainkan untuk diri saya sendiri. Bagaimanapun juga, sepertinya menulis akan selalu menjadi sarana bagi saya untuk “pulang”.