Lintasan Hidup
Terima kasih atas respons hangatnya terhadap TCWM!
Ternyata benar — memulai sesuatu secara publik bisa membakar semangat dan membuat komitmen menjadi lebih mudah untuk ditepati. Memulai sesuatu secara publik juga memberi ruang untuk adanya umpan balik. Merespons publikasi pertama saya kemarin, ada beberapa figur yang saya kagumi yang menyampaikan kegelisahan serupa.
Salah seorang pembaca, yang juga melalui perubahan pekerjaan signifikan yang mirip dengan saya, bercerita bahwa pernah juga tersirat di kepalanya:
“What if I was just one time wonderkid? What if it was all just one time luck?”
Ternyata, pertanyaan itu justru memicunya untuk bisa menjadi lebih sukses lagi. Tidak hanya di pekerjaan, tetapi juga dalam hidup. Baru-baru ini, beliau berhasil menyelesaikan lari marathon penuh (42 kilometer) di sebuah kompetisi internasional. Delapan tahun sebelumnya, beliau hanya bisa lari selama tiga menit. Sebuah perjalanan yang menurut saya spektakuler. (Sampai hari ini, sepertinya saya masih hanya bisa lari selama 3 menit xD).
Seorang pembaca lain juga berpendapat:
“Mungkin hidup sedang menuntun kita ke takdir yang lain — yang mudah-mudahan lebih baik.”
Ia menilai bahwa ia di usia yang lebih muda giat untuk mencapai banyak hal, dan sekarang tidak lagi.
Saya mengamini kedua pendapat itu.
Ketika tulisan sebelumnya dipublikasikan, banyak orang yang “menghibur”. Padahal, “kegelisahan” saya bukanlah suatu kesedihan, melainkan sebuah kesempatan untuk lebih mengenal diri sendiri dan mengambil pilihan-pilihan yang relevan.
Kita sering berpikir bahwa lintasan hidup merupakan suatu hal yang linear atau dua dimensi. Dari kecil, kita dibesarkan dengan berbagai bagan dengan garis pertumbuhan linear. Berapa tinggi dan berat badan bayi? Peringkat berapa di kelas dan dari berapa siswa? Apakah naik jabatan dan/atau gaji selama bekerja? Jika iya, seberapa cepat — seberapa banyak?
Anak-anak kewajibannya belajar. Saat sudah dewasa, kewajibannya bekerja — kalau bisa juga menikah dan punya anak. Manusia sering lupa bahwa hidup tidak hanya terdiri dari belajar maupun bekerja, tetapi banyak aspek lain yang harusnya juga menjadi tolok ukur. Jika memang di sekolah seorang anak mencapai peringkat tertentu, bagaimana dengan kecerdasan emosional dan sosialnya? Apakah ia punya cukup waktu untuk bermain dan berinteraksi dengan teman-temannya? Tentu setelah dewasa kita jadi tahu bahwa kendati konten pendidikan yang kita konsumsi berkontribusi terhadap keberadaan kita saat ini, orang-orang yang kita temui di sekolah maupun kampus juga memiliki peranan yang tidak kalah signifikan. Jika saat bekerja seseorang berhasil mendapatkan promosi demi promosi ke jabatan yang lebih tinggi, apakah ia punya kesempatan untuk menghabiskan waktu dengan keluarganya? Manusia sudah menemukan berbagai cara untuk memperbanyak uang — tetapi tidak banyak yang tahu cara memperbanyak waktu.
Lintasan hidup, atau life trajectory, itu bukan lintasan karier dan tidak seharusnya hanya diisi dengan karier. Ada banyak aspek yang menjadi bagian dari hidup itu sendiri dan memiliki lintasannya masing-masing.
Bayangkan bahwa masing-masing lintasan ditempuh oleh bus berbeda, tetapi tempat isi bensinnya hanya satu dan volume bensin di pom itu terbatas setiap harinya. Terkadang Bus A bisa diisi dengan bensin lebih banyak, tetapi jadinya bus-bus lain di trayek berbeda tidak bisa mengisi bensinnya hingga penuh. Jadinya, mungkin Bus A bisa menempuh jarak sangat jauh, tetapi bus-bus lain tidak bisa sejauh itu.
Apa saja lintasan yang kamu punya dan “bus” mana yang kamu harap bisa jalan paling jauh?
Bagi saya pribadi, “lintasan hidup” yang saya jadikan prioritas mungkin berubah.
Secara praktis, saya memilih untuk mendedikasikan waktu saya untuk membesarkan anak saya secara mandiri dengan pasangan saya. Bagaimana tidak — kehadirannya begitu kami tunggu-tunggu karena saya memiliki sebuah kondisi infertilitas (yang mungkin bisa kita bahas di tulisan lain). Di situasi di mana sebenarnya kami bisa-bisa saja punya pengasuh, kami tidak melakukannya. Mungkin saya waktu itu punya misi pribadi. Ibu saya tidak punya pilihan untuk tidak bekerja. Pada masanya, juga tidak ada orang yang bekerja dari rumah, sehingga saya hanya bisa menghabiskan waktu dengan beliau di malam hari. Mumpung saat ini ada banyak fleksibilitas dalam pekerjaan, saya memiih untuk mengambil pekerjaan yang bisa dilakukan dari rumah dan terutama saat anak kami tidur. Dengan begitu, saya bisa memastikan segala hal yang anak saya konsumsi (bukan hanya makanan, tetapi juga bahasa dan edukasi), terutama di dua tahun pertama kehidupannya. Saya mau bisa ada untuknya dan tidak diwakilkan oleh orang lain mengingat saya punya kesempatannya. Tentunya, ini mengurangi durasi waktu yang bisa saya gunakan untuk bekerja maupun fleksibilitas untuk terlibat dalam berbagai hal. Selain itu, pekerjaan yang akhirnya saya ambil pun mungkin membuat karier saya menjadi tidak linear. Sebagai konsekuensi, mungkin secara profesional saya jadi tidak bisa melaju secepat orang lain.
Secara filosofis, banyak pilihan yang saya ambil karena ‘prinsip’. Bukannya satu-dua kali ada penawaran untuk merilis ulang buku DreamCatcher atau “menulis DreamCatcher versi ibu-ibu” (haha). Ini mungkin tidak terlalu sulit untuk dilakukan dan bisa menjadi ladang penghasilan yang baru atau minimal membuat saya tetap ‘relevan’. Namun, jika dilakukan, saya merasa seperti tidak naik kelas; seperti lari di treadmill yang melelahkan tetapi tidak bergerak maju. Buku yang terakhir saya rilis adalah Sophismata (2017), buku yang membutuhkan riset dan proses kepenulisan paling intensif dan mungkin menjadi pencapaian terbesar bagi saya pribadi di bidang literatur. Penjualannya tentu hanya sepersekian jika dibandingkan dengan DreamCatcher, alias kecil sekali. Mungkin buku itu juga tidak ada di dalam satu “genre” yang sama dengan kegiatan non-kepenulisan saya, tetapi buku itu membuat saya merasa naik kelas karena proses kepenulisan yang saya lalui. Bagi saya pribadi, itu sangat penting, kendati lagi-lagi ‘biaya’-nya mungkin adalah adanya penurunan relevansi dan linearitas.
Pilihan yang berbeda lainnya adalah bahwa saya tidak bekerja di “ranah” anak muda lagi sejak tahun 2016. Misi pribadi saya adalah memastikan bahwa kegiatan seperti IndonesianYouth Conference (IYC) tidak menjadi Alanda-sentris dan bisa terus berjalan secara berkelanjutan siapapun nahkodanya. Bagaimanapun, IYC adalah kegiatan anak muda milik banyak orang, bukan milik saya sendiri. Jadi, regenerasi itu terus dilakukan setiap tahunnya sampai organisasinya bisa terus berjalan tanpa saya mengambil peranan yang terlampau besar di dalamnya. Lebih dari itu, klasifikasi “anak muda” pada umumnya adalah 27 tahun ke bawah — atau mungkin mentok di 30 tahun. Sampai hari ini, saya masih heran kalau melihat teman yang sepantaran saya yang dulu aktif di isu anak muda dan sekarang, di usia mungkin di atas 35 tahun, masih saja berorganisasi dan berkegiatan dengan embel-embel pengembangan anak muda. Rasanya, mereka menjadi seperti KNPI yang kami kritisi saat kami berusia belasan: organisasi “pemuda” tapi isinya orang-orang yang usianya kebih dekat ke 40-an dibanding 20-an. Tapi yah, mengutip kata Fellexandro Ruby: you do you.
Our life trajectory depends on the choices we make.
Layaknya sedang berkendara, dalam hidup kita selalu membuat pilihan, baik kecil maupun besar. Ada orang yang punya uang untuk membawa busnya melalui jalan tol, ada juga yang merasa lebih baik uangnya ditabung dan lewat jalan biasa saja. Ada yang berani untuk menyusuri jalan tikus demi bisa tiba lebih cepat kendati aspalnya tidak rata dan jalannya sempit, tetapi ada juga yang memilih untuk lewat jalan raya saja karena dinilai lebih aman dan tidak banyak risiko.
Kita besar dengan nilai-nilai dan tentu aspirasi yang berbeda. Sayangnya, tidak jarang kita menakar tingkat kesuksesan kita menggunakan kehidupan orang lain sebagai referensi padahal aspirasinya saja berbeda. Sikap membandingkan hidup kita dengan orang lain itu kadang-kadang mendorong kita untuk mengambil pilihan yang mirip dengan yang orang lain ambil: soal karier, pernikahan, anak, uang, dan lain-lainnya.
Ke mana kita pergi dalam hidup sungguh tergantung pada pilihan yang kita ambil, baik yang bisa sepenuhnya kita ambil dengan hanya mempertimbangkan faktor internal, maupun keputusan yang terpaksa kita ambil karena faktor eksternal.
Jadi, bagaimana cara untuk mengambil pilihan yang tepat pas untuk kita?
Sampai jumpa di nawala berikutnya hari Sabtu depan. Kita akan membahas soal poin referensi (reference point) dan kerangka-kerangka pengambilan keputusan yang bisa digunakan.
Supaya tidak ketinggalan, silakan berlangganan nawala The Choices We Make di sini: