Poin Referensi
Jangan terus-terusan melihat ke atas. Sekali-kali, cobalah melihat ke bawah.
Kemungkinan besar kita pernah mendengar kata-kata itu ketika diingatkan oleh orang lain untuk bersyukur.
Dalam ilmu ekonomi perilaku, ada sebuah konsep yang disebut reference point atau poin referensi. Dulu, ilmu ekonomi memperkenalkan konsep bahwa manusia adalah homo economicus — makhluk yang bisa mengambil keputusan secara rasional, berusaha memperoleh hasil terbaik atau terbanyak dengan sumber daya sesedikir mungkin. Ilmu perilaku memperkenalkan bahwa konteks merupakan hal yang sangat penting dalam pengambilan keputusan manusia. Dalam mengambil keputusan, manusia dan preferensinya terpengaruh dengan bagaimana mereka melihat pilihan yang ditawarkan, relatif terhadap poin referensi itu.
Secara sederhananya, mungkin iPhone 12 punya harga yang konsisten bagi siapapun. Jika orang yang ditawarkan saat ini memiliki iPhone 6, mungkin menurutnya iPhone 12 sangat bagus dan nilainya besar. Sebaliknya, jika orang tersebut saat ini memiliki iPhone 14, ia akan melihat iPhone 12 tersebut dengan nilai yang berbeda.
Ini dikenal dengan relative utility, berbeda dengan absolute utility yang diperkenalkan dalam teori ekonomi konvensional.
Apa saja contohnya?
Berdasarkan penelitian terhadap harga properti di London pada tahun 1995 hingga 2017, Meng (2023) menemukan bahwa properti yang diberi harga “bulat” seperti £100,000 memiliki kenaikan harga penjualan yang lebih besar di tahun-tahun berikutnya dibanding properti yang diberi harga “charm” seperti £99,999.
Dalam sebuah penelitian, secara rata-rata, kelompok yang diberi pertanyaan perkalian 10x9x8x7x6x5x4x3x2x1 memberi estimasi hasil yang jauh lebih besar dibanding kelompok yang dihadapkan dengan soal 1x2x3x4x5x6x7x8x9x10, kendati harusnya hasilnya sama.
Bagaimana hal ini bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari?
Tsunami informasi membuat terkadang menjalani hidup yang kita masing-masing pilih menjadi lebih sulit. Si A, yang bahkan mungkin tidak kita kenal, diterima di 10 kampus Ivy League. Kita tahu karena ia membuatkan satu konten TikTok khusus untuk menceritakan pencapaiannya. Si B, yang juga mungkin tidak kita kenal, berkata bahwa ia punya omset 1 milyar dari menjadi agen asuransi! Si C, sedang membangun rumah dari 0 pasa bidang tanah yang sangat luas — padahal ia lebih muda dari kita.
Tanpa kita sadari, informasi yang kita konsumsi ini bisa menjadi poin referensi. Kita berpikir bahwa kita masih jauh dari kesuksesan karena terekspos dengan kisah-kisah seperti itu, padahal mungkin konsep dan takaran sukses kita berbeda. Kita juga kemungkinan memiliki nilai-nilai dan cita-cita yang berbeda, dan membutuhkan jalan — serta pilihan-pilihan — yang berbeda pula.
Lalu, bagaimana kita bisa memanfaatkan konsep poin referensi dalam kehidupan sehari-hari?
Ketimbang melihat kehidupan orang lain sebagai poin referensi, kita bisa berfokus pada dua hal: pencapaian kita sebelumnya (peak performance/personal best) dan hal yang ingin kita capai (goals).
Pada penelitian yang melibatkan 133 juta permainan catur, Anderson & Green (2018) menemukan bahwa pemain catur menggunakan personal best-nya sebagai poin referensi, dan berusaha mengalahkan personal best tersebut di permainan-permainan selanjutnya. Berkat hal itu, pemain catur seringkali bisa mengalahkan rekornya sendiri karena memiliki motivasi dan mengeluarkan usaha lebih beaar ketika menjadikan personal best sebagai poin referensi. Saya pribadi menilai bahwa kemungkinan hal ini juga dilakukan oleh para pelari yang selalu mengecek dan menjadikan rekor personal best-nya sebagai tolok ukur.
Abeler et al. (2011) menemukan bahwa karyawan yang memiliki ekspektasi erhadap kenaikan gaji dan promosi lebih tinggi juga mengeluarkan usaha lebih besar, bekerja lebih lama, dan akhirnya memperoleh gaji yang lebih besar ketimbang karyawan yang memiliki ekspektasi rendah. Hal ini konsisten dengan penemuan Heath et al. (1999) dua dekade sebelumnya yang menemukan bahwa individu yang memiliki tujuan/goal berusaha lebih keras dalam pencapaian-pencapaian kognitif maupun fisik. Mereka berteori bahwa tujuan/goal adalah poin referensi yang berguna bagi manusia.
Jika kita ingin mengukur pencapaian maupun performance, mungkin kita bisa memulai dari dua hal tadi: pencapaian sebelumnya dan pencapaian akhir yang hendak kita capai. Apa yang orang lain capai sepertinya bukanlah sesuatu yang relevan.