Sore itu, saya pertama kali berbincang dengan David Irianto, orang yang kiprahnya sudah lama saya ikuti melalui media sosial dan juga cerita teman-teman saya yang juga teman-teman David. Kami mengobrol melalui media telekonferensi video. Pandemi, alasan utama saya. Alasan yang lebih kuat adalah bahwa saya kerepotan jika harus bertemu orang secara langsung. Repot kalau harus bawa anak, tetapi repot juga jika harus mencari yang bisa menjaga anak seandainya saya tidak mau bawa anak. Bagaimanapun juga, sejak ia lahir beberapa tahun silam, anak saya menjadi dunia saya: tidak banyak hal yang bisa membuat saya rela mengorbankan waktu yang seharusnya bisa saya habiskan dengan dia.
Tahun 2022 sepertinya adalah tahun David: ia mengembangkan sebuah media, menyelenggarakan sebuah konferensi, buku-buku yang dirilis oleh penerbitannya laris manis, mengkurasi pembicara untuk acara TEDxJakarta – yang tiketnya hampir selalu habis terjual, dan terpilih menjadi salah satu fellow di program prestisius Obama Foundation Leaders Asia Pacific. Mungkin sepuluh tahun yang lalu, hidup saya mirip dengan hidup David di 2022: penuh prestasi, karya, dan juga acara.
Sebaliknya, tahun 2022 bukan tahun saya. Ada begitu banyak tantangan dalam hidup sejak pandemi dimulai yang rasanya justru memburuk daripada membaik. Padahal, rasanya dunia sudah hidup kembali.
David menanyakan hal itu dengan hati-hati, dengan bahasa netral tanpa tendensi. Kami sedang mendiskusikan potensi kolaborasi tatkala ia menanyakannya. Satu pertanyaan menggelitik yang mungkin akan melahirkan beribu ide baru. Satu pertanyaan yang bersarang di kepala saya berbulan-bulan lamanya.
David benar. Itu yang saya rasakan selama ini, sesulit apapun untuk mengakuinya. Tidak satu, dua kali rasa itu terlintas di kepala saya. Sepuluh tahun lalu, saya kerap merasa punya segalanya: acara yang saya pikir berdampak untuk orang lain, buku yang juga saya pikir berdampak untuk orang lain, serta kesempatan-kesempatan untuk membicarakannya.
Buku pertama saya terbit di usia 14, sementara buku yang mendapat predikat “best seller” (entah benar atau tidak) terbit saat saya berumur 21. Inisiatif yang saya gagas, Indonesian Youth Conference (IYC), berjalan selama hampir satu dekade. Ketika orang membaca soal saya, mereka masih menanyakan soal dua hal itu – buku dan IYC – berapa lamapun kisah itu telah berlalu.
Sementara itu, beberapa tahun ke belakang, saya memang merasa tidak lagi relevan. Tidak signifikan – baik di hidup saya sendiri maupun hidup orang lain. Mungkin saya hanya tidak pernah menyatakannya secara eksplisit saja.
Ketika tulisan ini dipublikasikan, aktor keturunan dan kelahiran Vietnam Ke Huy QUan, baru saja memenangkan Piala Oscar untuk penampilannya di film Everything Everywhere All At Once. Mungkin sebagian besar dari kita sudah turut menangis menyimak video pidato kemenangannya di Twitter, ketika ia menyampaikan ke ibunya bahwa ia memenangkan Oscar.
Namun, pidato Ke Huy Quan yang sangat mengena di hati saya adalah pidatonya saat memenangkan penghargaan Golden Globe beberapa minggu sebelum ini.
Ke Huy Quan dikenal publik sebagai aktor cilik yang berperan di film Indiana Jones and the Temple of Doom dan The Goonies. Sayangnya, ia kesulitan untuk menemukan kesempatan menjadi aktor lagi selama 30 tahun (1992 – 2022), dan akhirnya mengerjakan hal-hal lain seperti koreografi.
Dalam pidatonya di Golden Globes, Ke Huy Quan berkata:
“Saat saya tumbuh dewasa, saya kerap berpikir apakah hanya itu saja [kesempatan terakhir saya], apakah yang saya capai bisa terjadi hanya berkat keberuntungan saja. Selama bertahun-tahun, saya tidak yakin saya punya hal lain yang bisa saya tawarkan. Saya tidak akan pernah bisa melewati apa yang saya capai sebagai anak-anak seberapa keraspun saya mencoba. Untungnya, lebih dari 30 tahun setelahnya, dua orang teringat dengan saya. Mereka mengingat anak itu, dan memberi saya kesempatan untuk mencoba lagi.”
Dulu, situasi yang Ke Huy Quan alami sering menjadi skenario di kepala saya dalam skala yang lebih kecil. Saya tidak bisa tidak berpikir bahwa mungkin apapun yang saya capai di usia sekarang tidak akan bisa mengalahkan apa yang saya capai di usia ‘muda’ saya.
Saya sangat berterima kasih bahwa David berani menanyakan pertanyaan tadi, karena saya tidak pernah berani menanyakan hal itu pada diri saya sendiri. Beberapa bulan setelah percakapan itu berakhir, saya masih memikirkan pertanyaan itu.
Mungkin jawaban dari pertanyaan itu bisa juga berguna untuk orang lain.
Begitulah cerita bagaimana publikasi ini dimulai dan sedang Anda baca sekarang.
Bayang-bayang masa lalu pasti ada di diri siapapun. I won national & international science olympiad when I was 10 years old, and I seemingly didn't achieve anything major for the next 10 years.
There's one time in high school when I failed to solve a problem in front of the class and my teacher said to everyone, "I thought Irfan is smart, but he couldn't solve it".
Seems people only see the highlight reels and forget that we are only human.
Loved this! Thank you for sharing. Soal Ke Huy Quan juga baru saya bahas di Substack belum lama ini. Inspiring memang ya. Keep writing (again), Alanda! 🙌