Minggu lalu, ada sebuah twit yang cukup viral di Twitter. Isinya soal konsumen JCo yang merasa terjebak membeli produk bundling tanpa pemberitahuan yang jelas sebelumnya.
Konsumen yang mengeluh ini awalnya hanya ingin membeli satu lusin donat tanpa tambahan apa-apa. Ia menyampaikan hal itu pada pramuniaga yang mencatat pesanannya dan membayar total nominal yang diminta, yakni 71 ribu Rupiah. Ternyata, sang pramuniaga “memilihkan” paket bundling selusin donat dengan sepotong kue, yang harganya tentu lebih mahal jika dibandingkan dengan selusin donat tanpa tambahan apa-apa.
Praktik seperti ini di dunia bisnis adalah teknik pemanfaatan rasionalitas manusia yang terbatas. Sebetulnya, praktik ini tidak jatang kita temui, tidak hanya pada bisnis ritel atau konvensional tetapi juga bisnis digital (yang sering disebut dark patterns).
Apa itu rasionalitas terbatas (bounded rationality)?
Ilmu ekonomi klasik yang mungkin kita pelajari di bangku SMA mengasumsikan bahwa manusia adalah makhluk rasional yang bisa mengambil keputusan rasional, matang, dan juga konsisten. Dalam asumsi tersebut, manusia dinilai untuk bisa mengambil pilihan dengan manfaat terbaik menggunakan sumber daya sesedikit mungkin.
Faktanya, pengambilan keputusan manusia sering sekali dipengaruhi banyak hal, termasuk di antaranya konteks. Diperkenalkanlah konsep rasionalitas terbatas, yang verpendapat bahwa: benar, manusia memang rasional, tetapi rasionalitasnya memiliki batasan-batasan tertentu. Kita bisa mengambil keputusan rasional dan benar jika kita memperoleh semua informasi yang diperlukan, kemampuan berhitung yang sangat baik, dan tentunya waktu yang tidak terbatas. Nyatanya, kita tidak selalu punya semua itu, kan.
Terutama kalau sedang di kasir.
Keterbatasan inilah yang dimanfaatkan oleh pelaku bisnis, seperti JCo, untuk mengambil kesempatan.
Karena tidak punya banyak waktu maupun seluruh informasi, biasanya manusia mengambil jalan pintas untuk mengambil keputusan, yang biasanya disebut heuristik. Heuristik bentuknya bermacam-macam.
Pilihan yang Dipilihkan (Defaults)
Kita seringkali pasrah menerima pilihan yang sudah dipilihkan untuk kita (dalam bahasa Inggris disebut “default”). Semisal agen asuransi memilihkan produk A, mungkin kita ikut saja — padahal bisa jadi produk B lebih bagus tetapi tidak ditawarkan karena mungkin memberi komisi yang lebih kecil. Saat bayi lahir, tali pusat dipotong oleh dokter — mungkin ada opsi ayahnya yang memotong, tetapi kita tidak pernah menanyakan. Strategi JCo yang memanfaatkan hal ini adalah ukuran minuman. Jika kita tidak request, biasanya ukuran minuman yang dipilihkan adalah Duo (sedang), bukan Uno (yang paling kecil). Begitu juga dengan Starbucks: ukuran defaultnya adalah Tall, padahal mereka punya ukuran yang lebih kecil yakni Short.
Kita juga sering mengikuti status quo — atau yang biasa kita pesan. Itulah kenapa mungkin kita jarang ganti penyedia layanan internet, walau bapuk dan membuat marah setiap hari. Itu juga yang mungkin dimanfaatkan oleh jenama tersebut: kita pikir setelah menyebut pesan donat satu lusin sudah cukup dan tidak mengecek layar di kasir lagi. Toh, biasanya kita pesan itu dan tidak ada masalah.
Di ranah digital, contoh UI/UX yang memanfaatkan hal ini juga ada banyak. Saat mau pesan tiket pesawat di Traveloka, tidak jarang pembayaran default-nya adalah cicilan menggunakan PayLater. Saat hendak berlangganan sesuatu (misal VPN), default yang dipilihkan dan ditunjukkan adalah harga Pay Annually, bukan Pay Monthly — yang biasanya lebih mahal.
Bagaimana memanfaatkannya?
Dengan menyadari bahwa rasionalitas kita terbatas dan mengetahui bahwa terkadang ada perusahaan yang memanfaatkannya, mungkin kita bisa jadi lebih berhati-hati ketika bertransaksi. Hal yang bisa dilakukan adalah dengan “memperlambat” proses transaksi sehingga punya waktu untuk berpikir, menghitung ulang, dan memeriksa — apalagi jika bisa dilakukan dengan “khusyuk” tanpa terpengaruh oleh persuasi dari orang lain secara verbal.
Selain itu, kecenderungan bahwa kita sering “menyerah” pada yang sudah dipilihkan pun bisa kita manfaatkan untuk kepentingan diri sendiri dengan “memilihkan” hal-hal yang bermanfaat untuk kita. Contoh: jika sedang mau mulai makan sehat, pesan katering harian. Dengan begitu, makan siang sudah ada default-nya dan kita menekan godaan untuk pilih-pilih makanan lain.
Apa hal default yang selalu Anda ikuti dengan pasrah?