Sebelumnya, mohon maaf atas keterlambatan tulisan yang ini. Saya tidak sanggup mempublikasikan apa-apa hari Sabtu kemarin, akibat dari saya sakit, anak sakit, puasa, dan setumpuk pekerjaan. Sabtu berikutnya, kita berlebaran. Saya tahu itu bukanlah alasan yang dapat diterima, sehingga mudah-mudahan tulisan saya hari ini bisa membayar hutang.
Selamat Idulfitri, mohon maaf lahir dan batin ya.
Kita tidak akan pernah bisa mengambil keputusan yang optimal jika kita tidak mengenal diri sendiri. Mungkin itu adalah pelajaran terbesar soal tumbuh dewasa yang sebelumnya tidak terlalu saya mengerti.
Saat masih kecil, sebagian besar keputusan kita mungkin ditentukan atau dipengaruhi oleh orangtua. Beranjak remaja, memang mulai banyak keputusan yang berani kita ambil sendiri, tetapi keputusan-keputusan tersebut kerap terpengaruh oleh teman, pacar, atau lingkungan sekitar. Misalnya, ingin kuliah di kampus tertentu karena teman-teman dekat juga daftar ke sana atau memilih gaya berpakaian maupun gaya rambut karena itu yang sedang tren.
Kita tentu sudah tahu bahwa saat dewasa hal itu akan berubah. Sayangnya, ketika kita dihadapkan pada keputusan-keputusan besar yang harus diambil, bisa jadi kita belum sepenuhnya memahami diri kita.
Dua minggu lalu, saya menulis tentang poin referensi. Sebagai manusia, secara alamiah, kita senang membandingkan satu hal dengan yang lain. Si ‘hal lain’ itu seringkali kita jadikan acuan. Akibat proses membandingkan itulah seringkali keputusan itu kita ambil berdasarkan bagaimana orang lain. Contohnya, ada orang yang akhirnya menikah atau punya anak sebelum mereka siap karena tekanan dari keluarga, lingkungan, dan masyarakat. Ada juga yang memilih untuk kuliah di kampus tertentu karena kata orang lain di sana yang bagus, padahal menurutnya belum tentu. Kita menjadikan orang lain sebagai referensi, bukannya diri dan cita-cita kita sendiri.
Menjadikan orang lain sebagai referensi ini sempat menjadi musuh utama saya di tahun 2018-2019 ketika baru melahirkan. Saya pikir, mengingat cuti melahirkan hanya tiga bulan, saya hanya harus “libur” dari bekerja dan berkarya selama tiga bulan tersebut. Nyatanya, seperti yang kita tahu, komitmen menjadi orangtua adalah komitmen seumur hidup. Namun, saya tidak pernah menyangka bahwa menjadi orangtua akan terasa seperti berganti identitas sepenuhnya. Semua aktivitas lain harus menunggu.
Saya dan pasangan saya memilih untuk mengurus anak tanpa tenaga bantuan di rumah. Jadi, sepanjang hari saya diisi dengan memberi anak saya makan, minum, memandikan, menidurkan, mengajak main, nyaris tanpa jeda. Kadang-kadang, untuk bisa mandi dan makan saja terasa sulit sekali. Tidak jarang saya baru bisa mandi setelah pasangan saya pulang dari kantor. Jika tidak terlampau mengantuk, saya mencoba untuk bekerja dan berkarya di saat anak dan pasangan saya sudah tidur, untuk mengais sisa-sisa identitas saya sebelum menjadi ibu.
Enam bulan berjalan dan semuanya tidak membaik. Saya justru kerap membandingkan kehidupan saya dengan orangtua baru lainnya. Si X melahirkan setelah saya, tetapi kok dia sudah bisa ke luar kota tanpa mengajak anak, ya? Atau Si Z sudah bisa pergi nonton berdua suami, saya kapan, ya?
Singkat cerita, saya kehilangan kepercayaan diri saya sepenuhnya. Saya merasa identitas dan aktivitas saya terkungkung dalam “menjadi ibu” sebagai batasnya, karena aktivitas-aktivitas lain harus menunggu setelah aktivitas utama tuntas dijalankan.
Akhirnya, saya mendaftarkan diri untuk sebuah program coaching untuk pemimpin perempuan (dulu namanya The Coaching Fellowship, sekarang sudah berganti menjadi The Women’s Impact Alliance Empowered Leader Program). Saya pun menceritakan keluh kesah saya kepada Coach saya dan bahwa saya ingin mengembalikan kepercayaan diri saya. Saya merasa menjadi ibu adalah hal yang sangat sulit dilakukan dan pelan-pelan mengikis identitas saya sebelum menjadi ibu. Bahkan, ada era di mana dipanggil “Mom” oleh klinik bersalin, “Busui” oleh teman-teman, atau “Mama [Nama Anak]” membuat saya terganggu. (It was a dark era, indeed).
Setelah mendengar rapelan keluh kesah saya, Coach saya menyampaikan hal yang sungguh menohok:
Itu semua ‘kan pilihan kamu.
Mungkin ada teman-teman saya yang sudah ke luar kota tanpa bawa anak sebelum anaknya berusia enam bulan. Mungkin juga ada teman-teman yang memiliki lebih banyak “kebebasan” karena mereka memiliki tenaga babysitter/nanny di rumah. Sementara, saya tidak memilikinya. Coach saya mengingatkan bahwa semua itu adalah hasil dari pilihan saya. Saya yang memilih untuk mengurus anak berdua dengan pasangan saja — padahal saya bisa saja mempekerjakan orang lain untuk membantu, kalau saya mau. Saya yang memilih untuk selalu memberikan ASI secara langsung, sehingga anak tidak bisa ditinggal dengan ASI perah — padahal saya bisa saja memompa ASI terus-menerus dan melatih anak saya minum dari botol supaya bisa sering dititipkan. Itu pilihan saya dan bukan pilihan orang lain. Itu juga keinginan saya dan bukan keinginan orang lain.
Ketika kita menyadari bahwa kita mengambil pilihan secara aktif, hal-hal yang harus dilakukan sebagai konsekuensinya akan terasa menjadi lebih mudah.
Pendapatnya benar. Di bulan-bulan berikutnya, saya berusaha untuk mengingat bahwa ini adalah pilihan saya, ini adalah kemauan saya, dan ini sejalan dengan diri saya. I actively made this choice. Sejak itu, perjalanan saya sebagai ibu jauh membaik.
Secara akademik, mengambil pilihan secara aktif (active choice) sudah banyak diteliti. Di antaranya, mendorong orang untuk mengambil pilihan secara aktif membuat mereka lebih bisa berkomitmen terhadap hal yang ingin mereka lakukan, seperti misalnya makan-makanan sehat (Hakim & Meissen, 2013) dan mengambil pilihan yang lebih hemat (Beshears, et al., 2021). Topik ini juga bisa dibaca lebih lanjut di buku Cass Sunstein (2015), Choosing Not to Choose.
Nasehat tersebut membuat saya berpikir ulang tentang hal-hal yang saya prioritaskan dan cita-citakan. Saya tidak bisa membandingkan pencapaian saya dengan orang lain karena tentunya orang lain memiliki prioritas, nilai, dan tentunya pilihan yang berbeda, kendati mungkin mereka juga sedang punya bayi baru lahir seperti saya.
Sebelumnya, menjadi ibu dari bayi yang baru lahir terasa sangat membatasi karena saya merasa tidak memiliki pilihan lain. Karena saya sudah punya anak, saya tidak bisa bekerja. Karena saya harus urus anak, saya tidak bisa ke mana-mana. Yang terkadang saya lupakan adalah bahwa itu kan saya yang pilih sendiri. Tentu ada alasan mengapa hal itu memiliki bobot yang lebih besar di kehidupan saya dibandingkan dengan hal-hal lain.
Sejak saat itu saya jadi belajar bahwa kita bisa mengambil keputusan secara lebih optimal apabila kita sudah mengenal diri kita sedalam-dalamnya. Apa saja hal-hal yang penting dan ingin kita prioritaskan? Apa saja hal-hal yang ingin kita capai? Semua ini bisa menjadi jangkar dan memandu kita dalam mengambil keputusan-keputusan dalam hidup, baik yang sifatnya sehari-hari maupun yang lebih besar. Secara sederhana, mungkin bagi sebagian orang, berada di dalam daftar Forbes 30 Under 30 itu penting — mungkin bagi kita belum tentu.
Sebagai bagian dari proses Coaching yang tadi saya ceritakan, ada beberapa kuesioner yang harus saya jawab untuk bisa “mengenal” diri saya sendiri lebih dalam dan menemukan cara untuk mengembalikan rasa percaya diri saya. Saya akan membaginya di sini, siapa tau bermanfaat bagi Anda yang membaca:
Bayangkan jika Anda berada di ambang kematian. Jika melihat kembali ke belakang, apa saja hal yang seharusnya sudah Anda lakukan untuk bisa membuat Anda merasa bahwa hidup Anda sudah cukup “penuh” dan tanpa penyesalan?
Apa saja hal yang Anda suka lakukan (“passion”)? Apakah saat ini hal tersebut sudah bisa Anda lakukan secara rutin?
Apa saja hambatan terbesar dalam mencapai sukses personal? Apa komitmen Anda untuk menghilangkan hambatan ini?
Apa saja 3 pencapaian terbesar dalam hidup Anda hingga hari ini?
Apa hal tersulit yang harus Anda lewati atau terima dalam hidup Anda?
Apa yang “kurang” dari hidup Anda, yang keberadaannya bisa membuat hidup Anda terasa lebih lengkap?
Siapa dan apa saja hal yang membuat Anda bersyukur tentang hidup Anda?
Bagaimana kualitas proses bekerja yang ideal bagi Anda? (Jabarkan sedetail mungkin, termasuk di mana Anda bekerja, bersama siapa, melakukan apa, dampak seperti apa yang dihasilkan, dan bagaimana perasaan Anda saat melakukannya)
Apa yang membuat Anda bersemangat menyongsong masa depan?
Apa yang membuat Anda sangat marah?
Apa yang membuat Anda puas dengan hidup dan pekerjaan Anda pada saat ini?
Apa yang membuat Anda tidak puas dengan hidup dan pekerjaan Anda pada saat ini?
Apa saja aspirasi, cita-cita, dan tujuan yang Anda miliki tentang kehidupan Anda?
Apa saja hal dari dalam diri Anda yang menghambat Anda dalam mencapai kesuksesan? (Pilih 3 dari daftar di bawah)
Menunda pekerjaan
Berusaha mengontrol kehidupan/orang lain
Tidak dapat mengambil keputusan
Tidak mengiyakan berbagai hal / Tidak proaktif dalam mengambil kesempatan
Selalu ingin benar
Melakukan hal di luar tujuan utama
Tidak bisa mendelegasikan pekerjaan
Tidak bisa menolak
Lainnya
Selain itu, ada beberapa kuesioner lain yang bisa kita isi untuk mengenal lebih jauh siapa diri kita, seperti:
Core Values: Pilih 5 nilai yang paling penting dalam hidup Anda dari daftar ini
Career Values: Pilih 5 nilai yang paling penting dalam pekerjaan ideal Anda dari daftar ini
Awalnya, saya merasa mengisi atau menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu konyol dan buang-buang waktu. Tanpa saya sangka, ternyata mengisi kuesioner seperti ini membuat saya berpikir banyak tentang diri saya dan hal-hal yang sebelumnya tidak pernah saya pikirkan.
Sebelum melangkah lebih jauh, mungkin dua hal ini yang harus kita tata terlebih dahulu:
Siapa diri kita dan apa yang kita cita-citakan?
Sadari bahwa hampir semua hal yang kita lakukan dalam hidup adalah hasil dari keputusan-keputusan yang kita ambil. Dengan mengingatnya seperti itu, banyak hal akan terasa lebih mudah untuk dijalani.
Dear Alanda, I am one of your reader since dream catcher. The book that starts my most adventurous and fantastic 20s. From claiming my cozy space in my school library to catching northern lights. I can not forget how influential your book was. Then here I am, 30 yo woman with 4 years old beautiful daughter. I survived from baby blues and reverse culture shock. In many nights, even lately, Aku masih mempertanyakan keputusan keputusanku. I grown up with references. Sepupu sepupu atau tetangga yang gemilang terang bersekolah di universitas negeri atau to top 10 world universities, yang kemudian menikah dengan anak tokoh ternama atau bergelar panjang di belakang namanya. Aku menikah dengan dokter residen, yang membuatku kaget karena ternyata banyak sekali cita-cita yang perlu ditunda sampai ia selesai studinya. Juga membuatku semakin sepakat bahwa aku tumbuh dengan referensi orang lain. Aku juga kini merasa seringkali memiliki identitas orang lain. Sebab orang tuaku seringkali memperkenalkanku kepada orang lain sebagai aku yang bersuamikan dokter. Atau orang tua suamiku memperkenalkanku kepada teaman dan kerabatnya sebagai aku yang pernah bersekolah di luar negeri. Bukan Aku yang biasa biasa saja. Malam demi malam, aku berpikir mengenai keputusanku, apakah bila aku mengambil jalan yang berbeda aku masih hidup seperti umur 20an ku yang glorious dan bebas itu? But then, kalau pikiranku sedang waras, aku merasa seperti apa yang Alanda tuliskan. Aku ingat alasanku memulai ini semua adalah: saat itu aku percaya bahwa mental dan pola pikirku akan berkembang ketika aku lepas dari zona nyaman dan menemukan zona nyaman yang baru. Dengan menjadi ibu dan istri aku memaksa diriku belajar memahami mengambil pelajaran dari nurture culture. Kadang aku merasa bersalah menyalahkan peran sebagai ibu/istri sebagai penghambat pencapaianku dalam berkarir. Kadang aku merasa bersalah sempat merasa iri dengan laki-laki yang memiliki kesempatan sangat luas tanpa gender assignment seperti perempuan. Perasaan bersalahku kadang terkoreksi dengan pikiran mungkin saja aku hanya "playing victim".
Aku bercerita hal yang aku alami, pikirkan dan rasakan kepada temanku yang hidup single di Berlin. Hal yang dia sampaiakan padaku membuatku sedikit tercerahkan, dia bilang "aku juga tadinya merasa hidup single lebih menenangkan dan hustle-free. Tapi ternyata tidak, aku tetap membandingkan diriku, kemudian menjadi cemas dan semakin sering menjalani terapi. The fact is adulthood (married or not) is about knowing ourself better, managing expectation and dealing with anxiety"
You're very lucky to get to choose what you want to do without factoring constraints like lacking financial literacy, patriarchy, poverty, sick parent, or sick sister.
Or is it me who dwell into this topic too much ya? It's like whenever I get to read topic about poverty, pasti mental juga karena disitu dibahas freedom juga and how learning about freedom make us feel trapped. What I gain from this piece of writing is that knowing ourselves making us less trapped. However, isn't people who do hard things actually trapped by previous self, and this hard things are the way for them to gain more freedom-or actually gain more trap as there are opportunity costs?