3 Comments
Apr 25, 2023Liked by Alanda Kariza

Dear Alanda, I am one of your reader since dream catcher. The book that starts my most adventurous and fantastic 20s. From claiming my cozy space in my school library to catching northern lights. I can not forget how influential your book was. Then here I am, 30 yo woman with 4 years old beautiful daughter. I survived from baby blues and reverse culture shock. In many nights, even lately, Aku masih mempertanyakan keputusan keputusanku. I grown up with references. Sepupu sepupu atau tetangga yang gemilang terang bersekolah di universitas negeri atau to top 10 world universities, yang kemudian menikah dengan anak tokoh ternama atau bergelar panjang di belakang namanya. Aku menikah dengan dokter residen, yang membuatku kaget karena ternyata banyak sekali cita-cita yang perlu ditunda sampai ia selesai studinya. Juga membuatku semakin sepakat bahwa aku tumbuh dengan referensi orang lain. Aku juga kini merasa seringkali memiliki identitas orang lain. Sebab orang tuaku seringkali memperkenalkanku kepada orang lain sebagai aku yang bersuamikan dokter. Atau orang tua suamiku memperkenalkanku kepada teaman dan kerabatnya sebagai aku yang pernah bersekolah di luar negeri. Bukan Aku yang biasa biasa saja. Malam demi malam, aku berpikir mengenai keputusanku, apakah bila aku mengambil jalan yang berbeda aku masih hidup seperti umur 20an ku yang glorious dan bebas itu? But then, kalau pikiranku sedang waras, aku merasa seperti apa yang Alanda tuliskan. Aku ingat alasanku memulai ini semua adalah: saat itu aku percaya bahwa mental dan pola pikirku akan berkembang ketika aku lepas dari zona nyaman dan menemukan zona nyaman yang baru. Dengan menjadi ibu dan istri aku memaksa diriku belajar memahami mengambil pelajaran dari nurture culture. Kadang aku merasa bersalah menyalahkan peran sebagai ibu/istri sebagai penghambat pencapaianku dalam berkarir. Kadang aku merasa bersalah sempat merasa iri dengan laki-laki yang memiliki kesempatan sangat luas tanpa gender assignment seperti perempuan. Perasaan bersalahku kadang terkoreksi dengan pikiran mungkin saja aku hanya "playing victim".

Aku bercerita hal yang aku alami, pikirkan dan rasakan kepada temanku yang hidup single di Berlin. Hal yang dia sampaiakan padaku membuatku sedikit tercerahkan, dia bilang "aku juga tadinya merasa hidup single lebih menenangkan dan hustle-free. Tapi ternyata tidak, aku tetap membandingkan diriku, kemudian menjadi cemas dan semakin sering menjalani terapi. The fact is adulthood (married or not) is about knowing ourself better, managing expectation and dealing with anxiety"

Expand full comment

You're very lucky to get to choose what you want to do without factoring constraints like lacking financial literacy, patriarchy, poverty, sick parent, or sick sister.

Or is it me who dwell into this topic too much ya? It's like whenever I get to read topic about poverty, pasti mental juga karena disitu dibahas freedom juga and how learning about freedom make us feel trapped. What I gain from this piece of writing is that knowing ourselves making us less trapped. However, isn't people who do hard things actually trapped by previous self, and this hard things are the way for them to gain more freedom-or actually gain more trap as there are opportunity costs?

Expand full comment
author

It’s true and I am indeed lucky. Saya nggak tau bagaimana saya pribadi bisa membuat perubahan sistemik terhadap hal itu, tapi mungkin sejauh ini yang bisa saya lakukan melalui pekerjaan saya adalah mencoba mengadvokasi dan memulai program agar lebih banyak orang (terutama perempuan) bisa berkesempatan untuk “memilih”. Kemarin ada laporan dari World Bank soal cara economy di Indonesia yang sangat menarik untuk dibaca — mengonfirmasi ketimpangan soal “kesempatan” dan beban mengurus anak dan rumah tangga di Indonesia. Semoga situasi ini bisa membaik agar kesempatan bagi individu untuk memilih menjadi lebih merata.

Expand full comment